BAB 11
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Sosiolinguistik
2.1.1
Definisi
Sosiolinguistik
Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah
mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses
sosial yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu
yang mempelajari bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar
disiplin yang mempelajari bahasa dan kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di
dalam masyarakat. Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak di lihat
secara bahasa, melainkan dilihat sebagai sarana interaksi atau komunikasi di
dalam masyarakat manusia. Sedangkan menurut Kridalaksana 1984:4, menyatakan
sosiolinguistik lazim di definisikan sebagai ilmu yang mempelajari ilmu dan
berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan cirri
fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat.
2.1.2
Masalah-masalah
Sosiolinguistik
Menurut konferensi sosiolinguistik pertama yang
berlangsung di University of California, Los Angeles, tahun 1964, terdapat
tujuh dimensi yang merupakan masalah dalam sosiolinguistik, yaitu:
1. Identitas
sosial dari penutur
Dapat diketahui
dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungan dengan
lawan tuturnya. Identitas penutur dapat berupa anggota keluarga, teman karib,
atasan atau bawahan, guru, murid, dan sebagainya. Identitas penutur ini dapat
memengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
2. Identitas
sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi.
Identitas
pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur, maka, identitas pendengar itu
pun dapat berupa anggota keluarga,
tetangga, guru, murid, dan sebagainya. Identitas pendengar juga akan
memengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
3. Lingkungan
sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa di ruang perpustakaan, di
dalam masjid, dan lain sebagainya. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula
mempengaruhi pilihan kode dan gaya bahasa dalam bertutur.
4. Analisis
diakronik dan sinkronik dari dialek-dialek sosial berupa deskripsi pola-pola
dialek-dialek sosial itu, baik yang berlaku pada masa-masa tertentu atau
berlaku pada masa yang tidak terbatas. Dialek sosial ini digunakan para penutur
sehubungan dengan kedudukan mereka sebagai anggota kelas-kelas sosial tertentu
di dalam masyarakat.
5. Penilaian
sosial yang berbeda oleh penutur terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran.
Maksudnya, setiap penutur tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam
masyarakat. Maka, berdasarkan kelas sosialnya itu, dia mempunyai penilaian
tersendiri terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang berlangsung.
6. Tingkatan
variasi atau linguistik, maksudnya, bahwa sehubungan dengan heterogennya
anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik
bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi manusia
yang disebut bahasa itu menjadi sangat bervariasi. Setiap variasi, entah
naamanya dialek, varietas, atau ragam, mempunyai fungsi sosialnya
masing-masing.
7. Penerapan
praktis dari penelitian sosiolinguistik, merupakan topik yang membicarakan
kegunaan penelitian sosiolinguistik untuk mengatasi masalah-masalah praktis
dalam masyarakat. Misalnya, masalah pengajaran bahasa, pembakuan bahasa,
penerjemahan, mengatasi konflik sosial akibat konflik bahasa, dan sebagainya.
2.1.3
Kegunaan
Sosiolinguistik
Sosiolonguistik menjelaskan bagaimana menggunakan
bahasa itu dalam aspek atau segi sosial tertentu, seperti di rumuskan Fishman
(1967:15) bahwa yang di persoalkan dalam sosiolinguistik adalah “who speak, what language, to whom, when, and
to what end”. Dari rumusan Fishman itu dapat kita jabarkan manfaat atau
kegunaan sosiolonguistik bagi kehidupan praktis, antara lain sebagai berikut:
a. Dapat
dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi.
Sosiolinguistik
akan memberikan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan menunjukkan
bahasa. Ragam bahasa apa yang harus kita gunakan jika kita berbicara dengan
orang tertentu. Misalnya, jika kita adalah anak dari suatu keluarga, tentu kita
harus menggunakan ragam bahasa yang berbeda jika lawan bicara kita adalah ayah,
ibu, kakak, atau adik.
b. Buku-buku
tata bahasa, sebagai hasil kajian internal terhadap bahasa, biasanya hanya
menyajikan kaidah-kaidah bahasa tanpa mengaitkannya dengan kaidah-kaidah
penggunaan bahasa. Misalnya, hampir semua buku tata bahasa Indonesia menyajikan
sistem kata ganti orang sebagai berikut:
Orang ke
|
Tunggal
|
Jamak
|
1
Yang berbicara
|
Aku, saya
|
Kami, kita
|
2
Yang diajak
bicara
|
Engkau, kamu,
anda
|
Kalian, kamu
sekalian
|
3
Yang di
bicarakan
|
Ia, dia, nya
|
Mereka
|
Bagan tersebut cukup jelas. Tetapi
kaidah sosial bagaimana menggunakannya tidak ada, sehingga orang yang baru
mempelajari bahasa Indonesia dan tidak mengenal kaidah sosial dalam menggunakan
kata ganti itu akan mengalami kesulitan besar. Oleh karena itu, bantuan
sosiolinguistik dalam menjelaskan penggunaan kata ganti tersebut sangat
penting. Kiranya, tanpa bantuan sosiolinguistik (misalnya, kepada siapa, kapan
dan dimana kata ganti itu harus di pakai) sajian kata ganti itu tidak berguna
dalam percakapan yang sebenarnya.
2.2 Bahasa dan Kelas
Sosial
2.2.1 Pengertian Kelas
Sosial
Kelas sosial (social class) mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai
kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan, seperti ekonomi, pekerjaan,
pendidikan, kedudukan, dan sebagainya. Misalnya A adalah seorang guru di
sekolah negeri, maka dia masuk ke dalam kelas pegawai negeri, jika dia seorang
sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik.
2.2.2
Ragam Bahasa dan Kelas Sosial
Ragam bahasa dialek
regional dapat di bedakan secara cukup jelas dengan dialek regional yang lain.
Batas perbedaan itu bertepatan dengan bats-batas alam seperti laut, sungai,
gunung, dan sebagainya. Secara linguistik dapat dikatakan, jika dua dialek
regional berdampingan, di dekat perbatasan itu bisa jadi kedua unsur dialek itu
akan “bercampur”. Semakin jauh dari batas itu, perbedaan itu semakin “besar”.
Sekurang-kurangnya hal ini benar pada beberapa situasi. Barangkali jarak
geografis inilah salah satu faktor yang menyebabkan perpecahnya suatu bahasa
menjadi sekian banyak bahasa. Setidaknya batas alam itu makin mengokohkan
status bahasa yang tadinya mungkin hanya berupa dialek saja. Ini mungkin
terjadi pada apa yang sekarang kita sebut bahasa Indonesia, bahasa Sunda,
bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Madura.
Contoh yang cukup menonjol adalah
bahasa jawa yang mengenal tingkat bahasa krama
dan ngoko, tetapi tidak mempunyai
kasta dalam masyarakatnya. Lihatlah tabel berikut ini, kemudian bandingkan
kata-kata pada kolom 2 dengan kolom 4, kolom 3 dengan kolom5; kolom 2 dengan
kolom 3, dan kolom 4 dan 5.
Tabel 1.
Perbedaan regional dan kelas sosial dalam bahasa jawa
Bahasa Indonesia
|
Yogya-Solo
|
Surabaya
|
||
|
Krama
|
Ngoko
|
Krama
|
Ngoko
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Saya
|
Kula
|
Aku
|
kula
|
aku
|
Kamu
|
Sampeyan
|
Kowe
|
sampeyan
|
kon
|
Tidak
|
Mboten
|
Ora
|
mboten
|
gak; dak
|
Sudah
|
Sampun
|
Wis
|
sampun
|
wis
|
2.2.3 Peranan
Labov
Perlu kita catat peranan seorang sarjana, William
Labov, dalam hubungan dengan kelas sosial ini, khususnya tentang lapisan
sosial. Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas
tentang tutur kota New York, berjudul “The
social Stratification of English in New York” (Lapisan sosial bahasa
inggris di kota New York). Ia mengadakan wawancara yang di rekam, dengan 340
orang dengan menggunakan sampel acak (random
sampling).
Menurut para linguis, orang-orang
New York mengucapkan kata guard
dengan memakai / r / atau kadang-kadang tanpa / r /. Para linguis menyebut / r
/ itu sebagai variasi bebas, artinya
variasi yang bisa di pilih, memakai atau tidak memakai / r / sama benarnya,
tidak bisa di ramahlan siapa yang menggunakannya dan kapan penggunaannya. Tetapi
Labov menyatakan / r / itu “bukan variasi
bebas” dan bisa di ramalkan.ia bukan acak, melainkan di tentukan oleh
faktor-faktor di luar bahasa dengan cara yang dapat di ramalkan. Faktor itu
adalah faktor sosial. Labov dapat membuktikan, seorang individu tertentu
dari kelas
sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan
variasi bentuk tertentu, sejumlah kira-kira sekian
kali atau sekian persen dan dalam situasi tertentu. Dengan cara ini kita
sekarang dapat membuat korelasi antara ciri-ciri linguistik (kebahasaan) dengan
kelas sosial. Dan inilah awal dari sosiolinguistik.
2.2.4
Kelas Sosial dan Ragam Baku
Ada kaidah yang baku di dalam bahasa
inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ketika tunggal (she. He, it), predikat kata kerjanya
harus menggunakan sufiks –s. Di kota industry Destroit, Amerika Serikat,
ternyata –s ini kadang-kadang tidak muncul pada bahasa sejumlah orang. Kemudian
diadakanlah penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan
sejumlah bahasa ini. Penelitian di adakan di dua tempat, yaitu di Destroit (AS)
dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial.
Kelas menengah tinggi (KMT), kelas menengah atas (KMA), kelas menengah bawah
(KMB), kelas pekerja atas (KPA), kelas pekerja (buruh) menengah (KPM), dan
kelas pekerja bawah (KPB). Hasilnya dapat di lihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Kata
kerja tanpa –s (non baku) dalam bahasa Inggris di Norwich dan Detroit di
Amerika Serikat
Norwitch
|
Norwitch
|
Detroit
|
Detroit
|
Kelas
|
%
|
Kelas
|
%
|
KMT
|
0
|
KMA
|
1
|
KMB
|
2
|
KMB
|
10
|
KPA
|
70
|
KPA
|
57
|
KPM
|
87
|
-
|
-
|
KPB
|
97
|
KPB
|
71
|
Tabel di atas menunjukkan korelasi (kaitan) yang
jelas antara kelas sosial dengan penggunaan bentuk tanpa –s (non baku).
Terlihat di sana, semakin tinggi kelas sosial semakin sedikit pemakaian kata
kerja tanpa –s, sedangkan semakin rendah kelas sosialnya, semakin banyak
pemakai bentuk non baku. Konon, golongan kelas bawah di Destroit kebanyakan
terdiri dari orang-orang Negro.
2.3
Bahasa
dan Kelompok Etnik
2.3.1
Individu
Dalam Lingkungan Etnik Lain
Bahasa tidak selalu menunjukkan bangsa atau etniknya. Contohnya
Banyak sekali orang Negro yang sudah beberapa generasi
berada di Amerika Serikat sudah kehilangan bahasa ibunya. Didalam suatu
percobaan sekelompok pendengar diminta untuk menilai dua buah rekaman A dan B.
Mereka pasti menyatakan rekaman A adalah rekaman dari suara bahasa Inggris
orang kulit hitam, dan B dari orang kulit putih. Ternyata para penilai itu
terkecoh, yang sebenarnya adalah A berisi tuturan orang kulit putih yang sudah lama berbaur dengan kelompok Negro, dan B
berisi tuturan orang kulit hitam yang telah lama berbaur dalam masyarakat kulit putih.
Beberapa hal yang bisa dicatat tentang percobaan ini
antara lain :
1.
Timbul kesan bahwa
ada perbedaan antara bahasa Inggris yang dipakai oleh etnik kulit putih dengan
etnik Negro, sehingga orang Amerika dapat menentukannya
berdasarkan ujaran mereka;
2.
Cara orang
berbicara yang berbeda bukan disebabkan karena mereka orang kulit hitam atau
orang kulit putih tetapi disebabkan oleh lingkungan bahasa mereka. Pola yang
mereka ambil ialah pola kelompok yang dominan di tempat itu;
3.
Ras dan tanda-tanda
fisiologis seharusnya tidak selalu dipakai sebagai dasar perbedaan bahasa.
2.3.2
Masyarakat Aneka Bahasa dan Masalahnya
Masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual
(multilingual society) adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa.
Masyarakat demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat,
sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural
society). Kebanyakan bangsa di dunia memiliki lebih dari satu bahasa yang
digunakan sebagai bahasa ibu dalam wilayah yang dihuni bangsa itu, bahkan
bangsa Indonesia mempunyai lebih dari 500 bahasa. Kita lebih mudah mencari
negara yang memiliki banyak bahasa dari pada negara yang ekabahasa (monolingual nation), dan
sulit mencari negara yang benar-benar ekabahasa.
Masalah yang timbul akibat dari masyarakat aneka bahasa.
a.
Masalah Individu
dan Kelompok
Keanekabahasaan dalam suatu
negara selalu menimbulkan masalah atau paling tidak mengandung potensi akan timbulnya
masalah, baik masalah bagi individu-individu dan kelompok individu (terutama yang
termasuk minoritas bahasa), pemerintah, dan dunia pendidikan. Bagi individu
atau kelompok individu minoritas, masalah yang segera timbul ialah mereka harus
menguasai sekurang-kurangnya dua bahasa, yaitu bahasanya sendiri dan bahasa
mayoritas, sebelum mereka dapat berfungsi sebagai anggota penuh masyarakat di
tempat mereka tinggal. Contohnya pada masa lampau anak-anak di wilayah dialek bahasa
Jawa Timur, seperti Surabaya. Ketika ia besar, ia
pindah ke Jawa Tengah, maka ia harus belajar bahasa Jawa ragam Jawa Tengah (Yogya-Solo).
Tentu saja mereka mengalami kesulitan besar, lebih-lebih kalau harus belajar
ragam krama inggil.
b.
Masalah Pemerintah,
Gerakan Politik dan Bahasa
Masalah keanekabahasaan bagi
pemerintah memang rumit, menghapuskan bahasa-bahasa minoritas mendapatkan
tantangan. Tetapi memelihara dan mengembangkan bahasa-bahasa itu menimbulkan
konsekuensi keuangan, dan ini kadang-kadang tidak tertanggungkan oleh negara
yang bersangkutan. Masalah lain adalah menghapuskan atau memelihara
bahasa-bahasa minoritas selalu saja mengandung risiko terlibatnya politik.
Bahasa sering dijadikan sebagai alat politik atau alat gerak politik, baik
politik untuk mematikan etnik tertentu ataupun politik untuk mencapai
kemerdekaan bangsa. Faktor
kebahasaan di daerah bahasa merupakan ciri etnik yang sangat menentukan (karena
ciri-ciri fisik kurang berarti seperti kulit hitam di AS), dapat memainkan
peranan penting dalam gerakan separatis yang menuntut kemerdekaan sendiri.
Alasannya, bahasa merupakan lambang solidaritas dan kesadaran kelompok.
2.3.3
Inferioritas
Perbedaan lafal bahasa Inggris orang Negro dengan lafal
orang kulit putih di Amerika telah membawa kerugian bagi masyarakat Negro
karena adanya pandangan yang bersifat inferioritas (inferior = rendah diri).
Pandangan ini menganggap ada hubungan antara bahasa yang jelek dengan rendahnya
derajat pemakai dalam masyarakat. Sudah lama dikenal tutur Inggris orang Negro Amerika
berbeda dengan tutur Inggris orang Amerika kulit putih. Perbedaan-perbedaan itu
kemudian dicatat, dan biasa dianggap sebagai akibat dari perbedaan mental atau
fisik yang melekat yang ada di antara kedua etnik itu,
hal ini pun dirumuskan sebagai akibat dari inferioritas
orang kulit hitam. Tetapi Secara linguistik tidak ada bahasa atau ragam bahasa yang
lebih tinggi atau lebih rendah dari bahasa yang lain. Jika cara bertutur orang
Negro berbeda dengan cara bertutur orang kulit putih, hal itu semata-mata
berarti ada ragam bahasa etnik yang berbeda-beda, tetapi dilihat dari segi
linguistik sama baiknya.
2.4
Bahasa
dan Jenis Kelamin
2.4.1
Pengantar
Dua pembedaan sudah kita kenal yaitu kelas sosial
dan kelompok etnik. Pengaruh kedua faktor pembeda terhadap bahasa itu memiliki
garis yang sejajar dengan faktor pembeda geografis. Aspek pembeda kebahasaan
yang tidak selalu ada dalam bahasa, yaitu jenis kelamin. Multamia dan Basuki
(1989) mengutip beberapa pandangan para pakar dialektologi “tradisional” tentang wanita yang akan di jadikan informan. Wanita
cenderung mempunyai sikap “hiperkorek” sehingga dianggap mengaburkan situasi
yang sebenarnya yang dikehendaki oleh para peneliti. Karena mereka sering
dianggap sebagai warga negara “kelas dua” seperti itu, mereka memunculkan
gerakan emansipasi.
2.4.2
Sikap
Sosial dan Kejantanan
Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul
karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial.
Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan
sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengharapkan pola tingkah laku
yang berbeda. Bahasa hanyalah pencerminan kenyataan sosial ini . Tutur wanita
bukan hanya berbeda, melainkan juga lebih “benar”. Ini merupakan pencerminan
kenyataan sosial. ). Sifat sosial dan tingkah laku yang berbeda dituntut dari
pihak pria dan wanita, dan ragam bahasa
berdasarkan jenis kelamin tersebut merupakan lambang kenyataan ini. Seorang
pria yang menggunakan ragam bahasa wanita sama halnya dengan menyatakan
identitasnya sebagai wanita, dan bertingkah laku sebagaimana layaknya seorang
wanita.Dengan demikian dapat dikatakan ragam bahasa berdasarkan kelompok etnik
dan kelompok sosial adalah akibat dari jarak sosial (social
distance), sedangkan ragam bahasa berdasarkaan jenis kelamin tadi adalah
akibat dari perbedaan sosial (social difference)
2.4.3 Prestise
Tersembunyi
Suatu bukti prestise tersembunyi itu ada, dapat
dilihat pada hasil penelitian dialek perkantoran di norwich. Informan, dalam
penelitian ini, diminta untuk mengikuti tes pengakuan. Ketika angka-angka
presentase 40% (yang merendah) dan 16% (yang meninggi) itu ditelusuri lebih
lanjut, ternyata terungkap setengah dari 40% adalah pria dan setengahnya
wanita. Tetapi 16% yang pengakuannya “meninggi” itu adalah wanita semua. Ini
berarti informan pria secara mencolok lebih tepat pengakuannya dengan kenyataan
sebenarnya dibandingkan dengan wanita. Dapat dikatakan dalam banyak hal, para
para wanita melaporkan diri, mereka menggunakan variasi yang kelasnya lebih
tinggi daripada yang sebenarnya digunakan. Hal ini karena mereka menginginkan,
mereka benar-benar menggunakan variasi itu. Jadi para penutur wanita itu
cenderung melaporkan diri, mereka menggunakan konotasi yang menguntungkannya
(disini kesadaran tidak terlibat).
Tabel 8. Laporan
Meninggi dan Merendah di Norwich (dalam persen)
Laporan
|
pria
|
wanita
|
Laporan meninggi
|
22
|
68
|
Laporan merendah
|
50
|
14
|
Laporan sesuai
|
28
|
18
|
Tabel itu menunjukkan sebagian besar wanita (68%) melaporkan
mereka menggunakan lafal yang benar, padahal kenyataanya tidak demikian, jadi
laporannya “meninggi”. Informan pria justru sebaliknya, menjadi pelapor yang
“merendah”, suatu jumlah yang lebih besar daripada data pertama di atas.
Sebagian besar dari pria itu lebih tertarik menghendaki prestise tersembunyi
daripada memperoleh status sosial. Bagi
pria di Norwich (dan mungkin bagi pria di mana saja) tutur kelas buruh adalah
penuh status (statusfull) dan berprestise (prestigious). Perbedaan tampak pada
wanita, yang menjadi pelapor meninggi. Perbedaan sikap ini menyebabkan
perbedaan ragam pria-wanita.
2.4.4 Wanita sebagai
Pelopor Perubahan
Tutur wanita, dalam masyarakat koasati, terutama
pada masyarakat chucki, lebih konservatif daripada pria. Artinnya perubahan
bahasa dipelopori oleh pria. Apabila terdapat sejenis ragam bahasa berstatus
tinggi atau bernorma nasional (bukan regional, bukan dialek), perubahan kearah
norma ini lebih sering dipelopori oleh wanita. Menurut anggapan orang, hal ini
karena pentingnya “ketepatan” atau “kebenaran” (corretness) sebagai suatu ciri
kewanitaan. Di Hillsbore, Carolina Utara misalnya, wanita menjadi pelopor
perubahan dari norma prestise lama ke norma yang baru. Sementara tutur
orang-orang selatan yang terpelajar di Hillsbore menggunakan bentuk lama tanpa
/r/ yang berprestise, para wanita
cenderung menggunakan warna baru , yaitu bentuk dengan /r/ posvokalik (akhir
kata) seperti pada car ‘mobil’, yang mempunyai prestise nasional dan tersebar
luas. Variabel yang diteliti di Norwich adalah vokal dalam kata seperti
top’atas, hot’panas, dog’anjing. Lafalnya ada dua jenis, yaitu vokal-bundar
(round vowel) dan vokal tak bundar (unrounded vowel). Vokal bundar itu seperti
/o/ dalam tokoh. Vokal tak bundar itu seperti /a/. Lafal pertama adalah lafal
baru yang sedang meluas dan berprestise. Penelitian penggunaan lafal dengan
vokal tak bundar pada berbagai kelas sosial menunjukkan gambaran presentase
berikut.
Tabel 9. Penggunaan
vokal tak bundar di Norwich
Jenis kelamin
|
KMT
|
KMB
|
KPA
|
KPM
|
KPB
|
Pria
|
1
|
11
|
44
|
64
|
80
|
Wanita
|
0
|
1
|
68
|
71
|
83
|
Tabel
itu menunjukkan angka presentase pria memakai vokal tak bundar (yaitu bentuk
yang tidak berprestase) dari kelas menengah (KMT, KMB) lebih tinggi daripada
wanita, sebaliknya untuk tiga kelompok kelas pekerja (KPA, KPM, KPB),
angka-angka menjadi terbalik, angka wanita lebih tinggi daripada pria.
Penjelasannya sebagai berikut: Vokal pada kata seperti top itu sedang mengalami
pasang naik. Jadi, ragam pria-wanita itu akibat dari perbedaan sikap sosial terhadap
tingkah laku pria dan wanita itu sendiri terhadap bahasa sebagai lembaga
sosial. Sikap ini sangat penting dalam situasi kependidikan. Dalam masyarakat
Hindia-Belanda, misalnya, ditemukan anak-anak mulai memperoleh sikap-sikap yang
berkkaitan dengan jenis kelamin itu dalam bahasa Inggris baku menjelang usia 6
atau 7 tahun.
2.4.5 Ragam Bahasa
Waria dan “Gay”
Waria (singkatan dari wanita-pria) atau wadam
(wanita Adam atau Hawa-Adam) merujuk kepada orang-orang yang secara biologis
berkelamin laki-laki tetapi berpenampilan (berpakaian dan berdandan) serta
mengidentifikasikan diri sebagai perempuan. Gay (atau Homoseks atau homo)
merujuk kepada laki-laki yang menyukai sesama laki-laki secara
emosional-seksual. Berikut ini uraian Dede Oetomo tentang bahasa mereka, yang
sebenarnya “bahasa rahasia”. Dede Oetomo meniliti waria dan gay di Surabaya dan
sekitarnya. Bahasa mereka, sebagaimana model bahasa “rahasia” lainnya, tampak “kelainannya” karena adannya
sejumlah kosakata yang khas yang berbeda dengan kosakata umum. Dede melihat,
waria biasannya merupakan kelas “bawah”, berasal dari beroperasi di kota kecil,
sebagian lagi bekerja sebagai penata rambut, dan sebagainnya. Sesuai dengan
kelas sosialnnya itu, orientasi mereka lebih banyak ke bahasa jawa dari pada
bahasa Indonesia. Gay, di lain pihak, berasal dari golongan kelas menengah di
kota Surabaya, dan orientasinnya kepada bahasa Indonesia yang memang lebih
banyak menjadi bahasa khas menengah ke atas. Tetapi, kaum gay itu juga memakai
bahasa Jawa. Dengan demikian, menurut Dede, gay itu di bahasawan. Bahasa mereka
dapat ditinjau dari dua segi, yaitu (A) struktur pembentukan istilah dengan
kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan, dan (B) penciptaan
istilah baru atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah ada. Pada
unsur (A) ada dua jenis pokok yaitu (A1) yang berdasarkan kata bahasa Jawa, dan
(A2) yang berdasarkan kata-kata bahasa Indonesia. Unsur (A2) dapat dibedakan
menjadi dua pula, yaitu (A2a) jenis kata-katannya berakhir dengan –ong dan (A2b)
jenis kata-katannya yang berakhir dengan –s . Kaum waria umumnya memakai A1,
sedangkan gay memakai A1 maupun A2. Jenis B dipakai oleh keduannya.
Contoh: A1:
Banci - siban
Lanang ‘laki-laki - silan
Payu ‘Laku’ - sipa
Wedok ‘perempuan - siwet
Nyonya - sinyon
Kaidah :
(a) Ambil
tiga bunyi pertama; konsonan (k) + vokal (v) + k
(b) Tambah
si depannya
(c) Bunyi
K- akhir disesuaikan dengan kaidah umum dalam bahasa Jawa : /y/ hilang, /ny/
menjadi /n/.
2.5
Bilingualisme
dan Diglosia
2.5.1
Bilingualisme
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut
juga kedwibahasaan. Secara sosiolinguistik, secara umum bilingualisme diartikan
sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73). Untuk dapat
menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahsa itu.
Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang
kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang
dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa
indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua
bahasa disebut bilingualitas ( dalam bahasa indonesia disebut juga
kedwibahasawanan).
2.5.2 Diglosia
Diglosia (diglossia) adalah situasi bahasa dengan
pembagian fungsional atas varian-varian bahasa yang ada. Satu varian diberi
status “tinggi” dan dipakai untuk penggunaan resmi atau pengggunaan publik dan
mempunyai ciri-ciri yang lebih kompleks dan konservatif, varian lain mempunyai
status “rendah” dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya
disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan.( Kridalaksana,2008:50)
Chaer dan Agustina (1995: 148) menerangkan bahwa
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat
dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup bedampingan dan
masing-masing mempunyai peranan tertentu. Bila disimak, definisi Ferguson
memberikan pengertian:
(1) diglosia
adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, dimana selain terdapat
sejumlah diale-dialek utama ( lebih tepat ragam-ragam utama) dari suatu bahasa,
terdapat juga sebuah ragam lain.
(2) Dialek-dialek
utama itu diantaranya bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar
regional.
(3) Ragam
lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri :
· Sudah
sangat terkodifikasi
· Gramatikalnya
lebih komplek
· Merupakan
wahana kesusatraan tertulis yang sangat luas dan dighormati
· Dipelajari
melalui pendidikan formal
· Digunakan
terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
· Tidak
digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari.
Ø Topik-topik
Diglosia
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan
sembilan topik , yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan,
standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.
a. Fungsi
Fungsi merupakan kriteria diglosia
yang sangat penting. Menurut Ferguson, dalam masyarakat diglosis terdapat dua
variasidari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi ( disingkat
dengan dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat
R atau ragam R). Dalam bahasa Indonesia, kita juga mengenal adanya bahasa Jawa.
Dalam bahasa Jawa tersebut, dialek T-nya bahasa Jawa halus atau kromo Inggil
sedangkan ragam R-nya adalah bahasa Jawa kasar.
Distribusi fungsional dialek T dan
R dari masing-masing bahasa mempunyai arti bahwa terdapat situasi dimana hanya
dialek T yang sesuai untuk digunakan dan dalam situasi lain, hanya dialek R
yang digunakan. Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi
R hanya pada situasi informal dan santai.
Bagan berikut Ferguson
memperlihatkan kapan digunakan dialek T dan bagaimana digunakan pula dialek R.
Situasi
|
Digunakan
|
|
T
|
R
|
|
Kebaktian di gereja
|
V
|
-
|
Perintah kepada pekerja, pelayan, dan tukang
|
-
|
V
|
Surat pribadi
|
-
|
V
|
Pembicaraan di parlemen
|
V
|
-
|
Perkuliahan di universitas
|
V
|
-
|
Percakapan dengan keluarga dan teman sejawat
|
-
|
V
|
Siaran berita
|
V
|
-
|
Sastra raktyat
|
-
|
V
|
Editorial di surat kabar
|
V
|
-
|
Komentar kartun politik
|
-
|
V
|
Pengunaan dialek T yang tidak cocok
dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa disoroti, mungkin menimbulkan
ejekan, cemoohan, atau tertawaan orang lain. Di Indonesia juga ada pembedaan
ragam T dan ragan R bahasa Indonesia. Ragam T digunakan dalam situasi formal,
seperti dalam pendidikan, sedangkan ragam R digunakan dalam situasi nonformal
seperti dalam pembicaraan dengan teman karir dan sebagainya.
b. Prestise
Dalam masyarakat diglosis, para
penutur menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang
dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inperior, malah
ada yang menolak keberadaannya. Itu tentu saja merupakan kekeliruan sebab
dialek T dan dialek R mempunyai fungsi masing-masing yang tidak dapat
dipertukarkan. Dalam masyarakat Indonesia pun ragam bahasa Indonesia baku
dianggap lebih bergengsi daripada bahas Indonesia non-baku.
c. Warisan Kesusastraan
Terdapat kesusastraan dimana ragam
T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa. Tradisi kesusastraan yang
selalu dalam ragam T menyebabkan kesusastraan itu menjadi asing dari masyarakat
umum. Namun, kesusastraan itu tetap berakar.
d. Pemerolehan
Ragam T diperoleh dengan
mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperolah dari
pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan. Oleh karena itu, mereka
yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam T
sama sekali. Di Indonesia pun banyak orang merasa sukar untuk mengunakan bahasa
Indonesia ragam baku, baik lisan maupun tulis. Ini menunjukkan bahwa
menggunakan bahasa ragam T memang tidak semudah menggunakan ragam R. Untuk
menguasai ragam T, kita harus belajar secara formal, tetapi juga untuk
menguasai ragam R, kemungkinan tidak perlu.
e. Standardisasi
Menanggapi ragam T yang dipandang
sebagai ragam bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan
terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa,
petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk
ragam T. Sebaliknya ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan. Jarang ada
kajian yang menyingung adanya ragam R, atau kajian khusus mengenai ragam R
tersebut. Sebagai ragam yang dipilih, yang distandardisasikan, maka ragam T
jelas akan menjadi ragam yang lebih bergengsi dan dihormati.
f. Stabilitas
Kestabilan dalam masyarakat
diglosis biasanya telah berlangsung lama dimana ada sebuah variasi bahasa
yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau
perbedaan antara ragam T dan R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan
karena adanya perkembangan dalam bentuk- bentuk campuran yang memiliki cirri-ciri
ragam T dan R.
g. Gramatika
Ferguson berpandangan bahwa ragam T
dan R dalam diglosis merupakan bentuk bentuk dan bahasa yang sama. Namun, di
dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan. Dalam ragam T adanya kalimat-
kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa,
tetapi dalam ragam R dianggap artifisial.
h. Leksikon
Sebagian besar kosa kata pada ragam
T dan R adalah sama. Namun, ada kosa kata pada ragam T yang tidak ada pasangannya
pada ragam R atau sebaliknya, ada kosa kata pada ragam R yang tidak ada
pasangannya pada ragam T. Dalam bahasa Indonesia kita pun dapat mendaftarkan
sejumlah kosa kata yang berpasangan sebagai baku dan tidak baku. Antara
lain, uang dan duit, buruk dan jelek.
i. Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan
struktur antara ragam T dan R. Ferguson sistem bunyi ragam R dan T
sebenarnya merupakan sistem tunggal, namun fonologi T merupakan sistem dasar
sedangkan fonologi R merupakan subsistem atau parasistem. Fonologi T lebih
dekat dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan.
Fonologi R lebih jauh dari bentuk-bentuk yang mendasar.
Pada bagian akhir dari artikelnya
itu Ferguson mengatakan bahwa suatu masyarakat diaglosis bias
bertahan / stabil waktu ayng cukup lama meskipun terdapat “tekanan –tekanan”
yang dapat melunturkannya. Tekanan-tekanan itu antara lain, (1) meningkatnya
kemampuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada suatu Negara. (2)
meningkatnya penggunaan bahasa tulis, (3) perkembangan nasionalisme dengan
keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu
bangsa.
2.5.3 Kaitan
Bilingualisme dan Diglosia
Diglosia diartikan sebagai adanya perbedaan fungsi
atas penggunaan bahasa ( terutama fungsi T dan R) dan bilingualisme adalah
keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman
(1977) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti tampak
dalam bagan.
Adanya
4 jenis hubungan antara bilingualism dan diglosia, yaitu
1. Bilingualisme
dan diglosia
Didalam masyarakat yang
dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hampir
setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. kedua ragam
atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak
dapat dipertukarkan.
Misalnya: Percampuran bahasa indonesia + bahasa jawa
+ diglosia.
·
Kamu mau
bayar utang kapan to?
·
Jangan nesu-nesu gitu to ya!
2. Bilingualisme
tanpa diglosia
Didalam masyarakat yang bilingual
tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka
tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain
untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang
manapun untuk situasi dan tujuan apapun
Suatu masyarakat yang pada mulanya
bilingual dan diglosis, tetapi kemudian berubah menjadi masyarakat yang
bilingual tetapi tidak diglosis dapat terjadi apabila sifat diglosisnya
“bocor”. Dalam kasus ini sebuah variasi atau bahasa “merembes” kedalam fungsi
yang sudah dibentuk untuk variasi atau bahasa lain. Hasil perembesan ini
mungkin akan menyebabkan terbentuknya sebuah variasi baru (kalau T dan R
mempunyai struktur yang sama) atau penggantian salah satunya oleh yang lain (
kalau T dan R tidak sama strukturnya).
Misalnya :
·
Kapan kamu
bayar utang?
·
Bagaimana bisa kamu
dapat duit?
3. Diglosia tanpa
bilingualisme
Didalam masyarakat yang berciri
diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penutur. Kelompok
pertama yang biasanya lebih kecil, merupakan kelompok ruling group yang hanya
bicara dalam bahasa T. sedangkan kelompok kedua, yang lebih besar, tidak
memilih kekuasaan masyarakat hannya berbicara bahasa R. Sesungguhnya masyarakat
yang diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak dapat disebut sebagai suatu
masyarakat tutur, sebab kedua kelompok tersebut tidak berinteraksi: kecuali
secara minim dengan menggunakan interpreter atau menggunakan bahasa pijin.
Misalnya :
·
Wes go ojo
nanges. (bahasa jawa yang disisipi diglosa go,ciri khas kota pati)
·
Jangan
begitu to. (bahasa Indonesia + diglosa to)
4. Tidak
bilingualisme dan tidak diglosia.
Pola keempat dalam pembicaraan
hubungan diglosia dan bilingualisme adalah masyarakat yang tidak diglosia dan
tidak bilingualisme, didalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak
bilingualisme tentunya hannya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat
digunakan untuk segala macam tujuan. Keadaan ini hannya mungkin ada dalam
masyarakat primitif atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sangat sukar
ditemukan.
Misalnya :
·
Joko sedang membaca
novel di kamar.
·
Aku ora seneng maca
novel.
2.6
Alih
Kode dan Campur Kode
2.6.1
Alih
Kode
Appel (1976:79) mendefinisikan alih kode itu
sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Secara
sosial perubahan pemakaian bahasa itu memang harus dilakukan, sebab adalah
sangat tidak pantas dan tidak etis secara sosial, untuk terus menggunakan
bahasa yang tidak dimengerti oleh orang ketiga. Oleh karena itu, alih kode ini
dapat dikatakan mempunyai fungsi sosial.
Berbeda dengan Appel, hymes (1875:103) menyatakan
alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara
ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi di
atas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia. Kalau kita
menelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus kita kembalikan kepada
pokok persoalan sosiolingustik seperti yang di kemukakan fishman (1975:15),
yaitu ”siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan
tujuan apa”. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih
kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2)
pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan haddirnya orang
ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan
topic pembicaraan.
Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan
alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu.
Misalnya, bapak Ari setelah beberapa saat berbicara dengan bapak Budi mengenai
usul kenaikan pangkatnya baru tahu kalau bapak Budi itu berasal dari daerah
yang sama dengan dia dan juga memunyai bahas ibu yang sama, maka dengan maksud
agar urusannya cepat beres dia melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke
bahasa daerahnya.
Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan
terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan
berbahasa si lawan tutur itu. Misalnya, Ani, pramuniaga sebuah toko cinderamata,
kedatangan tamu seorang turis asing, yang mengajak bercakap-cakap dalam bahasa
Indonesia. Ketika kemudian si turis tampaknya kehabisan kata-kata untuk terus
berbicara dalam bahasa Indonesia, maka Ani cepat-cepat beralih kode untuk
bercakap-cakap dalam bahasa Inggris sehingga kemudian percakapan menjadi lancar
kembali.
Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan
terjadinya alih kode. Contohnya ketika
Ujang, Nanang, Togar dan teman-temannya berbicara dalam ragam santai di dalam
kelas, tiba-tiba ibu dosen datang dan memulai perkuliahan, sehingga
mengharuskan mereka untuk menggunakan ragam formal.
Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu
alih kode intern dan ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode
yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa
Jawa, atau sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern adalah alih kode yang
terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam
verbal repetoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.
2.6.2
Campur
kode
Hill dan hill (1980:122) dalam penelitian mereka
mengenai masyarakat bilingual bahasa Spanyol dan Nahuali di kelompok Indian
Meksiko, mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk dapat membedakan alih kode
dan campur kode.
Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode
adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa
dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya.
Namun, yang jelas kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang di
gunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan
sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah di bicarakan
di atas. Sedangkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar
yang di gunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode
lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan
(pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang
penutur, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan
bahasa daerahnya, bisa di katakan telah melakukan campur kode. Akibatnya akan
muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah
bahasa Jawa) atau bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan (kalau bahasa daerahnya
adalah bahasa Sunda). Sebagai contoh perhatikan percakapan berikut yang di
lakukan oleh para penutur dwibahasa dawan Indonesia-cina Putunghoa di Jakarta,
di angkat dari laporan Hariyono (1990).
Lokasi
: Di bagian iklan kantor surat kabar harian Indonesia
Bahasa :
Indonesia dan Cina Putunghoa
Waktu : Senin, 18 November 1988, pukul 11.00 WIB
Penutur : Informan III (inf) dan pemasang iklan (PI)
Topik : memilih halaman untuk memasang iklan
Inf III : nih mau pasang di halaman berapa? (Anda,
mau pasang di halaman berapa?)
PI : di
baban aja deh (di halaman belakang sajalah)
Inf III : mei you a ! kalau mau di halaman lain; baiel di baban penuh lo?
Gak ada lagi! (kalau mau di halaman lain. Hari selasa halaman delapan penuh lo.
Tidak ada lagi)
PI : na wo xian gaaosu wodejingli ba. Ta zao de di baban a
(kalau demikian saya beritahukan direktur dulu. Dia maunya di halaman delapan)
Inf III : hao ni guosu ta ba. Jintian, degoang goa hen duo. Kalau mau ni
buru-buru datang lagi (baik, kamu beritahu dia iklan hari ini sangat banyak.
Kalu mau kamu harus segera datang lagi)
Menurut Hariyono, kedua partisipan itu sudah akrab.
Hal itu tampak dari penggunaan pronomina persona kedua tunggal ni “kamu”. Kata ganti yang sama yang
menyatakan hormat adalah xiansheng. Dilihat dari segi penggunaan bahasa Cina
Putunghoa yaitu, bahasa Cina dialek Beijing. Tampaknya tidak begitu menyimpang
dari kaidah yang ada. Tetapi dari segi bahasa Indonesia, digunakan bahasa
Indonesia dialek Jakarta, bukan bahasa Indonesia ragam baku. Disini kita lihat
bahwa meskipun pembicaraan tentang pemasangan iklan adalah masalah formal, tetapi
nyatanya ragam bahasa yang digunakan bukan ragam formal melainkan ragam non
formal. Dari contoh peristiwa tutur yang di berikan Hariyono itu, akhirnya bisa
dikatakan bahwa menentukan beda peristiwa alih kode dan campur kode memang
tidak mudah
2.7 Bahasa
dan Usia
2.7.1
Tutur Anak – Anak
Anak mulai belajar berbicara pada usia kurang lebih
18 bulan, dan usia kurang lebih tiga setengah tahun si anak boleh dikatakan
sudah meguasai “tata bahasa” bahasa ibunya, sehingga mereka dapat berkomunikasi
dengan orang dewasa secara sempurna.
Ada pula ciri universal dalam tutur anak-anak
ditinjau dari segi fonologi. Misalnya, bunyi-bunyi yang di hasilkan oleh gerak
membuka dan menutupnya bibir yang biasa disebutnya bunyi bilabial, merupakan
bunyi-bunyi yang sangat umum dihasilkan oleh anak-anak pada awal ujaannya.
Orang pertama dan yang paling dekat dengan anak pada masa awal perkembangan
bahasanya adalah ibunya. Dan jika di perhatikan kata pangggilan untuk ibu dalam
berbagai bahasa, akan membenarkan pandangan bahwa bunyi bilabial itu dominan
pada awal perkembangan bahasa anak. Misalnya: mak, mbok (Jawa), mpok
(Jakarta),me atau mek(Bali), mi,mam (Belanda), ma (Cina),
mom(Inggris), bu (Melayu).
Produksi awal bunyi-bunyi bilabial ini bisa kita
mengerti karena bunyi-bunyi inilah yang paling mudah di hasilkan, yaitu dengan
hanya menggerakkan kedua bibir. Bunyi-bunyi juga dilafalkan sesuai dengan daya
kerja alat-alat ucap mereka. Dalam berbagai masyarakat bahasa indonesia bunyi
/r/ adalah bunyi yang paling sulit di produksi, sehingga bunyi itu baru
dikuasai anak setelah mereka berusia beberapa tahun. Banyak anak berusia 3
tahun yang masih mengucapkan /lumah/ untuk rumah. Agak kurang sulit dari
bunyi /r/ ini adalah bunyi /s/, yang untuk beberapa waktu di ucapkan /c/,
sehingga susu, sapi diucapkan/ cucu,/capi/.
Ketika anak dianggap sudah pantas belajar
“unggah-ungguh” (sopan santun) berbahasa, belajar bahasa “halus”. Banyak di
kalangan keluarga awam yang mempunyai idola agar anaknya bisa berbahasa halus
tingkat tinggi, yang disebut krama inggil.
Apabila memerlukan penahapan, maka anak-anak
“dibiarkan“ atau “diajari” menggunakan krama inggil itu untuk kata-kata
tertentu. Kata-kata ini biasanya yang menyangkut ”aktivitas sehari-hari” atau
di sekitar dirinya, termasuk anggota badan, sepertidahar’makan’, ngunjuk’minum’,
sare’tidur’, tindak’pergi’, nyuwun’minta’, dalem’saya’(juga
untuk menjawab jika di panggil), pinarak ‘mampir’, rikma,
rambut’, rawuh’datang’,mundut’mengambil;membeli’. Contoh: “Bu, pareng
nyuwun duwit?” ( Bu, boleh saya minta uang?). (kata-kata yang di cetak
tebal adalah kata-kata dari tingkat ngoko).
Sebaliknya, si ibu dalam berbicara dengan anaknya
sering juga menggunakan kata-kata itu untuk anaknya meskipun menurut aturan dia
boleh menggunakan kata-kata ngoko. Contoh: “Nek siram sirahe di gebyur
lho!’kalau mandi, kepalanya disiram”. (kata-kata yang dicetak tebal tergolong
krama inggil).
2.8
Pilihan
Bahasa
2.8.1 Jenis
Pilihan Bahasa
Ada tiga jenis pilihan bahasa yang biasa di kenal
dalam kajian sosiolinguistik. pertama,
apa yang disebut alih kode (code switching). Lebih dulu harus diingat,
kode adalah istilah netral yang dapat mengacu kepada bahasa, dialek, sosiolek,
atau ragam bahasa. Jika misalnya si A mempunyai B1 Bahasa Bali dan B2 Bahasa
Indonesia serta menguasai juga bahasa Inggris, dia dapat beralih kode dengan
tiga bahasa itu. Bahasa mana yang dipilih bergantung pada banyak faktor,
anatara lain lawan bicara, topik, suasana. Kedua,
apa yang disebut campur kode (code – mixing). Dalam campur kode
penutur meyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa
tertentu. Contoh Pada kasus si A di atas, ketika berbicara dalam bahasa
indonesia dia dengan sengaja memasukkan unsur-unsur bahasa Bali atau bahasa
Inggris. Ketiga, variasi dalam bahasa
yang sama (variation within the same language). Jenis pilihan bahasa ini
sering mejadi fokus kajian tentang sikap bahasa. Dalam hal ini, seorang penutur
harus memilih ragam mana yang harus di pakai dalam situasi tertentu. Kedalam
jenis ini dapat pula dimasukkan pilihan bentuk”sor-singgih” dalam bahasa Bali
atau “ngoko krama” dalam bahasa Jawa, karena variasi unda-usuk dalam
kedua bahasa itu ada dalam “bahasa yang sama”. Maka, jika kita menganggap
“variasi dalam bahasa yang sama” itu sebagai masalah pilihan bahasa, pilihan
bahasa itu mencakup penutur ekabahasawan dan dwibahasawan, bisa alih kode atau
campur kode. Dari ketiga jenis pilihan bahasa itu yang paling besar
konsekuensinya adalah jenis pertama, karena jenis itulah yang dapat menimbulkan
pergeseran dan kepunahan bahasa.
2.9 Sikap Bahasa dan
Pemilihan Bahasa
2.9.1 Sikap Bahasa
Menurut Anderson (1974:37) sikap bahasa adalah tata
keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai
bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang
untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun perlu diperhatikan
karena sikap itu bisa positif dan bisa negatif , maka sikap terhadap bahasa pun
demikian. Umpamanya, sampai akhir tahun lima puluhan masih banyak golongan
intelektual di indonesia yang masih bersikap negatif terhadap bahasa indonesia
di samping mereka yang sangat bersikap positif (lihat Chaer 1993). Keadaan
sekarang memang sudah jauh berbeda, yang bersikap negatif terhadap bahasa
Indonesia sudah jauh berkurang jumlahnya, berkat penjelasan, penerangan, dan
kampanye yang dilakukan banyak pihak mengenai kemampuan bahasa Indonesia untuk
menjadi bahasa nasional, bahasa negara, bahasa ilmu pengetahuan, malah bahasa
perhubungan antar bangsa, setidaknya di kawasan Asia Tenggara.
2.9.2 Pemilihan
Bahasa
Menurut fasolt (1984) hal pertama yang terbayang
bila kita memikirkan bahasa adalah “bahasa keseluruhan” (whole language) di
mana kita membayangkan seseorang dalam masyarakat bilingual atau multilingual
berbicara dua bahasa atau lebih dan harus memilih yang mana yang harus
digunakan.
Di indonesia, secara umum digunakan tiga buah bahasa
dengan tiga domain sasaran, yaitu bahasa indonesia, bahasa daerah, dan bahasa
asing. Bahasa indonesia digunakan dalam
domain keindonesiaan, atau domain yang sifatnya nasional, seperti dalam bahasa
pengantar dalam pendidikan,. Bahasa daerah digunakan dalam domain kedaerahan, seperti
dalam upacara pernikahan, sedangkan bahasa asing digunakan untuk komunikasi
antar bangsa. Disinilah barangkali untuk memahami cara pemilihan bahasa perlu
digunakan pendekatan yang bukan semata-mata tertumpu pada domain sosiologis,
melainkan harus dilakukan berdasarkan pendekatan psikologis sosial. Pendekatan
psikologis sosial tidak meneliti struktur sosial, seperti domain-domain,
melainkan meneliti proses psikologi manusia seperti motivasi dalam pemilihan
suatu bahasa atau ragam dari suatu bahasa untuk digunakan pada keadaan tertentu
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara
sosiologi dan linguistik, yang dikaji secara eksternal, yaitu pengkajian yang
dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang
berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya di dalam
kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan. Manfaat atau kegunaan sosiolonguistik
bagi kehidupan praktis adalah dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau
berinteraksi, Buku-buku tata bahasa, sebagai hasil kajian internal terhadap
bahasa, biasanya hanya menyajikan kaidah-kaidah bahasa tanpa mengaitkannya
dengan kaidah-kaidah penggunaan bahasa. Serta di dalam sosiolinguistik juga di
bahas mengenai berbagai ragam bahasa dari anak-anak, waria, gay, menurut kelas
sosialnya, dan lain-lain.
B.
Saran
Penulis mengharapkan setelah membaca makalah ini
pembaca dapat mengerti apa itu sosiolinguistik sehingga dapat berkomunikasi
dengan masyarakat yang mempunyai variasi bahasa yang beragam dengan mudah,
serta penulis juga mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
0 komentar: