Category

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

Minggu, 17 Mei 2015

MAKALAH SOSIOLINGUISTIK

by Unknown  |  at  08.20



BAB 11
PEMBAHASAN
2.1    Pengertian Sosiolinguistik
2.1.1        Definisi Sosiolinguistik
Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa dan kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat. Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak di lihat secara bahasa, melainkan dilihat sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia. Sedangkan menurut Kridalaksana 1984:4, menyatakan sosiolinguistik lazim di definisikan sebagai ilmu yang mempelajari ilmu dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan cirri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat.
2.1.2        Masalah-masalah Sosiolinguistik
Menurut konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, Los Angeles, tahun 1964, terdapat tujuh dimensi yang merupakan masalah dalam sosiolinguistik, yaitu:
1.      Identitas sosial dari penutur
Dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungan dengan lawan tuturnya. Identitas penutur dapat berupa anggota keluarga, teman karib, atasan atau bawahan, guru, murid, dan sebagainya. Identitas penutur ini dapat memengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
2.      Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi.
Identitas pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur, maka, identitas pendengar itu pun dapat  berupa anggota keluarga, tetangga, guru, murid, dan sebagainya. Identitas pendengar juga akan memengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
3.      Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa di ruang perpustakaan, di dalam masjid, dan lain sebagainya. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya bahasa dalam bertutur.
4.      Analisis diakronik dan sinkronik dari dialek-dialek sosial berupa deskripsi pola-pola dialek-dialek sosial itu, baik yang berlaku pada masa-masa tertentu atau berlaku pada masa yang tidak terbatas. Dialek sosial ini digunakan para penutur sehubungan dengan kedudukan mereka sebagai anggota kelas-kelas sosial tertentu di dalam masyarakat.
5.      Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran. Maksudnya, setiap penutur tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam masyarakat. Maka, berdasarkan kelas sosialnya itu, dia mempunyai penilaian tersendiri terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang berlangsung.
6.      Tingkatan variasi atau linguistik, maksudnya, bahwa sehubungan dengan heterogennya anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat bervariasi. Setiap variasi, entah naamanya dialek, varietas, atau ragam, mempunyai fungsi sosialnya masing-masing.
7.      Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik, merupakan topik yang membicarakan kegunaan penelitian sosiolinguistik untuk mengatasi masalah-masalah praktis dalam masyarakat. Misalnya, masalah pengajaran bahasa, pembakuan bahasa, penerjemahan, mengatasi konflik sosial akibat konflik bahasa, dan sebagainya.

2.1.3        Kegunaan Sosiolinguistik
Sosiolonguistik menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa itu dalam aspek atau segi sosial tertentu, seperti di rumuskan Fishman (1967:15) bahwa yang di persoalkan dalam sosiolinguistik adalah “who speak, what language, to whom, when, and to what end”. Dari rumusan Fishman itu dapat kita jabarkan manfaat atau kegunaan sosiolonguistik bagi kehidupan praktis, antara lain sebagai berikut:
a.       Dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi.
Sosiolinguistik akan memberikan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa. Ragam bahasa apa yang harus kita gunakan jika kita berbicara dengan orang tertentu. Misalnya, jika kita adalah anak dari suatu keluarga, tentu kita harus menggunakan ragam bahasa yang berbeda jika lawan bicara kita adalah ayah, ibu, kakak, atau adik.
b.      Buku-buku tata bahasa, sebagai hasil kajian internal terhadap bahasa, biasanya hanya menyajikan kaidah-kaidah bahasa tanpa mengaitkannya dengan kaidah-kaidah penggunaan bahasa. Misalnya, hampir semua buku tata bahasa Indonesia menyajikan sistem kata ganti orang sebagai berikut:
Orang ke
Tunggal
Jamak
1
Yang berbicara
Aku, saya
Kami, kita
2
Yang diajak bicara
Engkau, kamu, anda
Kalian, kamu sekalian
3
Yang di bicarakan
Ia, dia, nya
Mereka

Bagan tersebut cukup jelas. Tetapi kaidah sosial bagaimana menggunakannya tidak ada, sehingga orang yang baru mempelajari bahasa Indonesia dan tidak mengenal kaidah sosial dalam menggunakan kata ganti itu akan mengalami kesulitan besar. Oleh karena itu, bantuan sosiolinguistik dalam menjelaskan penggunaan kata ganti tersebut sangat penting. Kiranya, tanpa bantuan sosiolinguistik (misalnya, kepada siapa, kapan dan dimana kata ganti itu harus di pakai) sajian kata ganti itu tidak berguna dalam percakapan yang sebenarnya.
2.2 Bahasa dan Kelas Sosial
2.2.1 Pengertian Kelas Sosial                                                                                 
            Kelas sosial (social class) mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan, seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, dan sebagainya. Misalnya A adalah seorang guru di sekolah negeri, maka dia masuk ke dalam kelas pegawai negeri, jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik.
2.2.2 Ragam Bahasa dan Kelas Sosial
            Ragam bahasa dialek regional dapat di bedakan secara cukup jelas dengan dialek regional yang lain. Batas perbedaan itu bertepatan dengan bats-batas alam seperti laut, sungai, gunung, dan sebagainya. Secara linguistik dapat dikatakan, jika dua dialek regional berdampingan, di dekat perbatasan itu bisa jadi kedua unsur dialek itu akan “bercampur”. Semakin jauh dari batas itu, perbedaan itu semakin “besar”. Sekurang-kurangnya hal ini benar pada beberapa situasi. Barangkali jarak geografis inilah salah satu faktor yang menyebabkan perpecahnya suatu bahasa menjadi sekian banyak bahasa. Setidaknya batas alam itu makin mengokohkan status bahasa yang tadinya mungkin hanya berupa dialek saja. Ini mungkin terjadi pada apa yang sekarang kita sebut bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Madura.
            Contoh yang cukup menonjol adalah bahasa jawa yang mengenal tingkat bahasa krama dan ngoko, tetapi tidak mempunyai kasta dalam masyarakatnya. Lihatlah tabel berikut ini, kemudian bandingkan kata-kata pada kolom 2 dengan kolom 4, kolom 3 dengan kolom5; kolom 2 dengan kolom 3, dan kolom 4 dan 5.

Tabel 1. Perbedaan regional dan kelas sosial dalam bahasa jawa
Bahasa Indonesia
Yogya-Solo
Surabaya


Krama
Ngoko
Krama
Ngoko
1
2
3
4
5
Saya
Kula
Aku
kula
aku
Kamu
Sampeyan
Kowe
sampeyan
kon
Tidak
Mboten
Ora
mboten
gak; dak
Sudah
Sampun
Wis
sampun
wis

2.2.3 Peranan Labov
Perlu kita catat peranan seorang sarjana, William Labov, dalam hubungan dengan kelas sosial ini, khususnya tentang lapisan sosial. Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur kota New York, berjudul “The social Stratification of English in New York” (Lapisan sosial bahasa inggris di kota New York). Ia mengadakan wawancara yang di rekam, dengan 340 orang dengan menggunakan sampel acak (random sampling).
            Menurut para linguis, orang-orang New York mengucapkan kata guard dengan memakai / r / atau kadang-kadang tanpa / r /. Para linguis menyebut / r / itu sebagai variasi bebas, artinya variasi yang bisa di pilih, memakai atau tidak memakai / r / sama benarnya, tidak bisa di ramahlan siapa yang menggunakannya dan kapan penggunaannya. Tetapi Labov menyatakan / r / itu “bukan variasi bebas” dan bisa di ramalkan.ia bukan acak, melainkan di tentukan oleh faktor-faktor di luar bahasa dengan cara yang dapat di ramalkan. Faktor itu adalah faktor sosial. Labov dapat membuktikan, seorang individu tertentu dari  kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk tertentu, sejumlah kira-kira sekian kali atau sekian persen dan dalam situasi tertentu. Dengan cara ini kita sekarang dapat membuat korelasi antara ciri-ciri linguistik (kebahasaan) dengan kelas sosial. Dan inilah awal dari sosiolinguistik.
2.2.4 Kelas Sosial dan Ragam Baku
            Ada kaidah yang baku di dalam bahasa inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ketika tunggal (she. He, it), predikat kata kerjanya harus menggunakan sufiks –s. Di kota industry Destroit, Amerika Serikat, ternyata –s ini kadang-kadang tidak muncul pada bahasa sejumlah orang. Kemudian diadakanlah penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan sejumlah bahasa ini. Penelitian di adakan di dua tempat, yaitu di Destroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial. Kelas menengah tinggi (KMT), kelas menengah atas (KMA), kelas menengah bawah (KMB), kelas pekerja atas (KPA), kelas pekerja (buruh) menengah (KPM), dan kelas pekerja bawah (KPB). Hasilnya dapat di lihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Kata kerja tanpa –s (non baku) dalam bahasa Inggris di Norwich dan Detroit di Amerika Serikat
Norwitch
Norwitch
Detroit
Detroit
Kelas
%
Kelas
%
KMT
0            
KMA
1
KMB
2
KMB
10
KPA
70
KPA
57
KPM
87
-
-
KPB
97
KPB
71
Tabel di atas menunjukkan korelasi (kaitan) yang jelas antara kelas sosial dengan penggunaan bentuk tanpa –s (non baku). Terlihat di sana, semakin tinggi kelas sosial semakin sedikit pemakaian kata kerja tanpa –s, sedangkan semakin rendah kelas sosialnya, semakin banyak pemakai bentuk non baku. Konon, golongan kelas bawah di Destroit kebanyakan terdiri dari orang-orang Negro.
2.3    Bahasa dan Kelompok Etnik
2.3.1 Individu Dalam Lingkungan Etnik Lain           
Bahasa tidak selalu menunjukkan bangsa atau etniknya. Contohnya Banyak sekali orang Negro yang sudah beberapa generasi berada di Amerika Serikat sudah kehilangan bahasa ibunya. Didalam suatu percobaan sekelompok pendengar diminta untuk menilai dua buah rekaman A dan B. Mereka pasti menyatakan rekaman A adalah rekaman dari suara bahasa Inggris orang kulit hitam, dan B dari orang kulit putih. Ternyata para penilai itu terkecoh, yang sebenarnya adalah A berisi tuturan orang kulit putih yang sudah lama berbaur dengan kelompok Negro, dan B berisi tuturan orang kulit hitam yang telah lama berbaur dalam masyarakat kulit putih.
Beberapa hal yang bisa dicatat tentang percobaan ini antara lain :
1.      Timbul kesan bahwa ada perbedaan antara bahasa Inggris yang dipakai oleh etnik kulit putih dengan etnik Negro, sehingga orang Amerika dapat menentukannya berdasarkan ujaran mereka;
2.      Cara orang berbicara yang berbeda bukan disebabkan karena mereka orang kulit hitam atau orang kulit putih tetapi disebabkan oleh lingkungan bahasa mereka. Pola yang mereka ambil ialah pola kelompok yang dominan di tempat itu;
3.      Ras dan tanda-tanda fisiologis seharusnya tidak selalu dipakai sebagai dasar perbedaan bahasa.

2.3.2                  Masyarakat Aneka Bahasa dan Masalahnya
Masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual (multilingual society) adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat, sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society). Kebanyakan bangsa di dunia memiliki lebih dari satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu dalam wilayah yang dihuni bangsa itu, bahkan bangsa Indonesia mempunyai lebih dari 500 bahasa. Kita lebih mudah mencari negara yang memiliki banyak bahasa dari pada negara yang ekabahasa (monolingual nation), dan sulit mencari negara yang benar-benar ekabahasa.
Masalah yang timbul akibat dari masyarakat aneka bahasa.
a.       Masalah Individu dan Kelompok
Keanekabahasaan dalam suatu negara selalu menimbulkan masalah atau paling tidak mengandung potensi akan timbulnya masalah, baik masalah bagi individu-individu dan kelompok individu (terutama yang termasuk minoritas bahasa), pemerintah, dan dunia pendidikan. Bagi individu atau kelompok individu minoritas, masalah yang segera timbul ialah mereka harus menguasai sekurang-kurangnya dua bahasa, yaitu bahasanya sendiri dan bahasa mayoritas, sebelum mereka dapat berfungsi sebagai anggota penuh masyarakat di tempat mereka tinggal. Contohnya pada masa lampau anak-anak di wilayah dialek bahasa Jawa Timur, seperti Surabaya. Ketika ia besar, ia pindah  ke Jawa Tengah, maka ia harus belajar bahasa Jawa ragam Jawa Tengah (Yogya-Solo). Tentu saja mereka mengalami kesulitan besar, lebih-lebih kalau harus belajar ragam krama inggil.
b.      Masalah Pemerintah, Gerakan Politik dan Bahasa
Masalah keanekabahasaan bagi pemerintah memang rumit, menghapuskan bahasa-bahasa minoritas mendapatkan tantangan. Tetapi memelihara dan mengembangkan bahasa-bahasa itu menimbulkan konsekuensi keuangan, dan ini kadang-kadang tidak tertanggungkan oleh negara yang bersangkutan. Masalah lain adalah menghapuskan atau memelihara bahasa-bahasa minoritas selalu saja mengandung risiko terlibatnya politik. Bahasa sering dijadikan sebagai alat politik atau alat gerak politik, baik politik untuk mematikan etnik tertentu ataupun politik untuk mencapai kemerdekaan bangsa. Faktor kebahasaan di daerah bahasa merupakan ciri etnik yang sangat menentukan (karena ciri-ciri fisik kurang berarti seperti kulit hitam di AS), dapat memainkan peranan penting dalam gerakan separatis yang menuntut kemerdekaan sendiri. Alasannya, bahasa merupakan lambang solidaritas dan kesadaran kelompok.
2.3.3                  Inferioritas
Perbedaan lafal bahasa Inggris orang Negro dengan lafal orang kulit putih di Amerika telah membawa kerugian bagi masyarakat Negro karena adanya pandangan yang bersifat inferioritas (inferior = rendah diri). Pandangan ini menganggap ada hubungan antara bahasa yang jelek dengan rendahnya derajat pemakai dalam masyarakat. Sudah lama dikenal tutur Inggris orang Negro Amerika berbeda dengan tutur Inggris orang Amerika kulit putih. Perbedaan-perbedaan itu kemudian dicatat, dan biasa dianggap sebagai akibat dari perbedaan mental atau fisik yang melekat yang ada di antara kedua etnik itu, hal ini pun dirumuskan sebagai akibat dari inferioritas orang kulit hitam. Tetapi Secara linguistik tidak ada bahasa atau ragam bahasa yang lebih tinggi atau lebih rendah dari bahasa yang lain. Jika cara bertutur orang Negro berbeda dengan cara bertutur orang kulit putih, hal itu semata-mata berarti ada ragam bahasa etnik yang berbeda-beda, tetapi dilihat dari segi linguistik sama baiknya.
2.4      Bahasa dan Jenis Kelamin
2.4.1                  Pengantar
Dua pembedaan sudah kita kenal yaitu kelas sosial dan kelompok etnik. Pengaruh kedua faktor pembeda terhadap bahasa itu memiliki garis yang sejajar dengan faktor pembeda geografis. Aspek pembeda kebahasaan yang tidak selalu ada dalam bahasa, yaitu jenis kelamin. Multamia dan Basuki (1989) mengutip beberapa pandangan para pakar dialektologi “tradisional” tentang wanita yang akan di jadikan informan. Wanita cenderung mempunyai sikap “hiperkorek” sehingga dianggap mengaburkan situasi yang sebenarnya yang dikehendaki oleh para peneliti. Karena mereka sering dianggap sebagai warga negara “kelas dua” seperti itu, mereka memunculkan gerakan emansipasi.

2.4.2                  Sikap Sosial dan Kejantanan
Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Bahasa hanyalah pencerminan kenyataan sosial ini . Tutur wanita bukan hanya berbeda, melainkan juga lebih “benar”. Ini merupakan pencerminan kenyataan sosial. ). Sifat sosial dan tingkah laku yang berbeda dituntut dari pihak pria  dan wanita, dan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin tersebut merupakan lambang kenyataan ini. Seorang pria yang menggunakan ragam bahasa wanita sama halnya dengan menyatakan identitasnya sebagai wanita, dan bertingkah laku sebagaimana layaknya seorang wanita.Dengan demikian dapat dikatakan ragam bahasa berdasarkan kelompok etnik dan kelompok sosial adalah akibat dari jarak sosial  (social distance), sedangkan ragam bahasa berdasarkaan jenis kelamin tadi adalah akibat dari perbedaan sosial (social difference)
2.4.3 Prestise Tersembunyi
Suatu bukti prestise tersembunyi itu ada, dapat dilihat pada hasil penelitian dialek perkantoran di norwich. Informan, dalam penelitian ini, diminta untuk mengikuti tes pengakuan. Ketika angka-angka presentase 40% (yang merendah) dan 16% (yang meninggi) itu ditelusuri lebih lanjut, ternyata terungkap setengah dari 40% adalah pria dan setengahnya wanita. Tetapi 16% yang pengakuannya “meninggi” itu adalah wanita semua. Ini berarti informan pria secara mencolok lebih tepat pengakuannya dengan kenyataan sebenarnya dibandingkan dengan wanita. Dapat dikatakan dalam banyak hal, para para wanita melaporkan diri, mereka menggunakan variasi yang kelasnya lebih tinggi daripada yang sebenarnya digunakan. Hal ini karena mereka menginginkan, mereka benar-benar menggunakan variasi itu. Jadi para penutur wanita itu cenderung melaporkan diri, mereka menggunakan konotasi yang menguntungkannya (disini kesadaran tidak terlibat).
Tabel 8. Laporan Meninggi dan Merendah di Norwich (dalam persen)
Laporan
pria
wanita
Laporan meninggi
22
68
Laporan merendah
50
14
Laporan sesuai
28
18
Tabel itu menunjukkan sebagian besar wanita (68%) melaporkan mereka menggunakan lafal yang benar, padahal kenyataanya tidak demikian, jadi laporannya “meninggi”. Informan pria justru sebaliknya, menjadi pelapor yang “merendah”, suatu jumlah yang lebih besar daripada data pertama di atas. Sebagian besar dari pria itu lebih tertarik menghendaki prestise tersembunyi daripada memperoleh  status sosial. Bagi pria di Norwich (dan mungkin bagi pria di mana saja) tutur kelas buruh adalah penuh status (statusfull) dan berprestise (prestigious). Perbedaan tampak pada wanita, yang menjadi pelapor meninggi. Perbedaan sikap ini menyebabkan perbedaan ragam pria-wanita.
2.4.4 Wanita sebagai Pelopor Perubahan
Tutur wanita, dalam masyarakat koasati, terutama pada masyarakat chucki, lebih konservatif daripada pria. Artinnya perubahan bahasa dipelopori oleh pria. Apabila terdapat sejenis ragam bahasa berstatus tinggi atau bernorma nasional (bukan regional, bukan dialek), perubahan kearah norma ini lebih sering dipelopori oleh wanita. Menurut anggapan orang, hal ini karena pentingnya “ketepatan” atau “kebenaran” (corretness) sebagai suatu ciri kewanitaan. Di Hillsbore, Carolina Utara misalnya, wanita menjadi pelopor perubahan dari norma prestise lama ke norma yang baru. Sementara tutur orang-orang selatan yang terpelajar di Hillsbore menggunakan bentuk lama tanpa /r/  yang berprestise, para wanita cenderung menggunakan warna baru , yaitu bentuk dengan /r/ posvokalik (akhir kata) seperti pada car ‘mobil’, yang mempunyai prestise nasional dan tersebar luas. Variabel yang diteliti di Norwich adalah vokal dalam kata seperti top’atas, hot’panas, dog’anjing. Lafalnya ada dua jenis, yaitu vokal-bundar (round vowel) dan vokal tak bundar (unrounded vowel). Vokal bundar itu seperti /o/ dalam tokoh. Vokal tak bundar itu seperti /a/. Lafal pertama adalah lafal baru yang sedang meluas dan berprestise. Penelitian penggunaan lafal dengan vokal tak bundar pada berbagai kelas sosial menunjukkan gambaran presentase berikut.
Tabel 9. Penggunaan vokal tak bundar di Norwich
Jenis kelamin
KMT
KMB
KPA
KPM
KPB
Pria
1
11
44
64
80
Wanita
0
1
68
71
83

Tabel itu menunjukkan angka presentase pria memakai vokal tak bundar (yaitu bentuk yang tidak berprestase) dari kelas menengah (KMT, KMB) lebih tinggi daripada wanita, sebaliknya untuk tiga kelompok kelas pekerja (KPA, KPM, KPB), angka-angka menjadi terbalik, angka wanita lebih tinggi daripada pria. Penjelasannya sebagai berikut: Vokal pada kata seperti top itu sedang mengalami pasang naik. Jadi, ragam pria-wanita itu akibat dari perbedaan sikap sosial terhadap tingkah laku pria dan wanita itu sendiri terhadap bahasa sebagai lembaga sosial. Sikap ini sangat penting dalam situasi kependidikan. Dalam masyarakat Hindia-Belanda, misalnya, ditemukan anak-anak mulai memperoleh sikap-sikap yang berkkaitan dengan jenis kelamin itu dalam bahasa Inggris baku menjelang usia 6 atau 7 tahun.
2.4.5 Ragam Bahasa Waria dan “Gay”
Waria (singkatan dari wanita-pria) atau wadam (wanita Adam atau Hawa-Adam) merujuk kepada orang-orang yang secara biologis berkelamin laki-laki tetapi berpenampilan (berpakaian dan berdandan) serta mengidentifikasikan diri sebagai perempuan. Gay (atau Homoseks atau homo) merujuk kepada laki-laki yang menyukai sesama laki-laki secara emosional-seksual. Berikut ini uraian Dede Oetomo tentang bahasa mereka, yang sebenarnya “bahasa rahasia”. Dede Oetomo meniliti waria dan gay di Surabaya dan sekitarnya. Bahasa mereka, sebagaimana model bahasa “rahasia”  lainnya, tampak “kelainannya” karena adannya sejumlah kosakata yang khas yang berbeda dengan kosakata umum. Dede melihat, waria biasannya merupakan kelas “bawah”, berasal dari beroperasi di kota kecil, sebagian lagi bekerja sebagai penata rambut, dan sebagainnya. Sesuai dengan kelas sosialnnya itu, orientasi mereka lebih banyak ke bahasa jawa dari pada bahasa Indonesia. Gay, di lain pihak, berasal dari golongan kelas menengah di kota Surabaya, dan orientasinnya kepada bahasa Indonesia yang memang lebih banyak menjadi bahasa khas menengah ke atas. Tetapi, kaum gay itu juga memakai bahasa Jawa. Dengan demikian, menurut Dede, gay itu di bahasawan. Bahasa mereka dapat ditinjau dari dua segi, yaitu (A) struktur pembentukan istilah dengan kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan, dan (B) penciptaan istilah baru atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah ada. Pada unsur (A) ada dua jenis pokok yaitu (A1) yang berdasarkan kata bahasa Jawa, dan (A2) yang berdasarkan kata-kata bahasa Indonesia. Unsur (A2) dapat dibedakan menjadi dua pula, yaitu (A2a) jenis kata-katannya berakhir dengan –ong dan (A2b) jenis kata-katannya yang berakhir dengan –s . Kaum waria umumnya memakai A1, sedangkan gay memakai A1 maupun A2. Jenis B dipakai oleh keduannya.
Contoh: A1:
Banci                           -           siban
Lanang ‘laki-laki         -           silan
Payu ‘Laku’                -           sipa
Wedok ‘perempuan     -           siwet
Nyonya                       -           sinyon
Kaidah :
(a)    Ambil tiga bunyi pertama; konsonan (k) + vokal (v) + k
(b)   Tambah si depannya
(c)    Bunyi K- akhir disesuaikan dengan kaidah umum dalam bahasa Jawa : /y/ hilang, /ny/ menjadi /n/.

2.5      Bilingualisme dan Diglosia
2.5.1 Bilingualisme
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara sosiolinguistik, secara umum bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahsa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas ( dalam bahasa indonesia disebut juga kedwibahasawanan).
2.5.2 Diglosia
Diglosia (diglossia) adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas varian-varian bahasa yang ada. Satu varian diberi status “tinggi” dan dipakai untuk penggunaan resmi atau pengggunaan publik dan mempunyai ciri-ciri yang lebih kompleks dan konservatif, varian lain mempunyai status “rendah” dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan.( Kridalaksana,2008:50)
Chaer dan Agustina (1995: 148) menerangkan bahwa Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup bedampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Bila disimak, definisi Ferguson memberikan pengertian:
(1) diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, dimana selain terdapat sejumlah diale-dialek utama ( lebih tepat ragam-ragam utama) dari suatu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
(2) Dialek-dialek utama itu diantaranya bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar regional.
(3) Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri :
· Sudah sangat terkodifikasi
· Gramatikalnya lebih komplek
· Merupakan wahana kesusatraan tertulis yang sangat luas dan dighormati
· Dipelajari melalui pendidikan formal
· Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
· Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari.

Ø  Topik-topik Diglosia
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan sembilan topik , yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.
a. Fungsi
Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson, dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasidari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi ( disingkat dengan dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat R atau ragam R). Dalam bahasa Indonesia, kita juga mengenal adanya bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa tersebut, dialek T-nya bahasa Jawa halus atau kromo Inggil sedangkan ragam R-nya adalah bahasa Jawa kasar.
Distribusi fungsional dialek T dan R dari masing-masing bahasa mempunyai arti bahwa terdapat situasi dimana hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan dan dalam situasi lain, hanya dialek R yang digunakan. Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi R hanya pada situasi informal dan santai.
Bagan berikut Ferguson memperlihatkan kapan digunakan dialek T dan bagaimana digunakan pula dialek R.
Situasi
Digunakan
T
R
Kebaktian di gereja
V
-
Perintah kepada pekerja, pelayan, dan tukang
-
V
Surat pribadi
-
V
Pembicaraan di parlemen
V
-
Perkuliahan di universitas
V
-
Percakapan dengan keluarga dan teman sejawat
-
V
Siaran berita
V
-
Sastra raktyat
-
V
Editorial di surat kabar
V
-
Komentar kartun politik
-
V



Pengunaan dialek T yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa disoroti, mungkin menimbulkan ejekan, cemoohan, atau tertawaan orang lain. Di Indonesia juga ada pembedaan ragam T dan ragan R bahasa Indonesia. Ragam T digunakan dalam situasi formal, seperti dalam pendidikan, sedangkan ragam R digunakan dalam situasi nonformal seperti dalam pembicaraan dengan teman karir dan sebagainya.
b. Prestise
Dalam masyarakat diglosis, para penutur menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inperior, malah ada yang menolak keberadaannya. Itu tentu saja merupakan kekeliruan sebab dialek T dan dialek R mempunyai fungsi masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan. Dalam masyarakat Indonesia pun ragam bahasa Indonesia baku dianggap lebih bergengsi daripada bahas Indonesia non-baku.
c. Warisan Kesusastraan
Terdapat kesusastraan dimana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa. Tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T menyebabkan kesusastraan itu menjadi asing dari masyarakat umum. Namun, kesusastraan itu tetap berakar.
d. Pemerolehan
Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperolah dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan. Oleh karena itu, mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam T sama sekali. Di Indonesia pun banyak orang merasa sukar untuk mengunakan bahasa Indonesia ragam baku, baik lisan maupun tulis. Ini menunjukkan bahwa menggunakan bahasa ragam T memang tidak semudah menggunakan ragam R. Untuk menguasai ragam T, kita harus belajar secara formal, tetapi juga untuk menguasai ragam R, kemungkinan tidak perlu.
e. Standardisasi
Menanggapi ragam T yang dipandang sebagai ragam bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T. Sebaliknya ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan. Jarang ada kajian yang menyingung adanya ragam R, atau kajian khusus mengenai ragam R tersebut. Sebagai ragam yang dipilih, yang distandardisasikan, maka ragam T jelas akan menjadi ragam yang lebih bergengsi dan dihormati.
f. Stabilitas
Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan karena adanya perkembangan dalam bentuk- bentuk campuran yang memiliki cirri-ciri ragam T dan R.
g. Gramatika
Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan R dalam diglosis merupakan bentuk bentuk dan bahasa yang sama. Namun, di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan. Dalam ragam T adanya kalimat- kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R dianggap artifisial.
h. Leksikon
Sebagian besar kosa kata pada ragam T dan R adalah sama. Namun, ada kosa kata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R atau sebaliknya, ada kosa kata pada ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T. Dalam bahasa Indonesia kita pun dapat mendaftarkan sejumlah kosa kata yang berpasangan sebagai baku dan tidak baku. Antara lain, uang dan duit, buruk dan jelek.
i. Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan R. Ferguson sistem bunyi ragam R dan T sebenarnya merupakan sistem tunggal, namun fonologi T merupakan sistem dasar sedangkan fonologi R merupakan subsistem atau parasistem. Fonologi T lebih dekat dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan. Fonologi R lebih jauh dari bentuk-bentuk yang mendasar.
Pada bagian akhir dari artikelnya itu Ferguson mengatakan bahwa suatu masyarakat diaglosis bias bertahan / stabil waktu ayng cukup lama meskipun terdapat “tekanan –tekanan” yang dapat melunturkannya. Tekanan-tekanan itu antara lain, (1) meningkatnya kemampuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada suatu Negara. (2) meningkatnya penggunaan bahasa tulis, (3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.
2.5.3 Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Diglosia diartikan sebagai adanya perbedaan fungsi atas penggunaan bahasa ( terutama fungsi T dan R) dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti tampak dalam bagan.
            Adanya 4 jenis hubungan antara bilingualism dan diglosia, yaitu
1.      Bilingualisme dan diglosia
Didalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan.
Misalnya: Percampuran bahasa indonesia + bahasa jawa + diglosia.
·         Kamu mau bayar utang kapan to?
·         Jangan nesu-nesu gitu to ya!
2.      Bilingualisme tanpa diglosia
Didalam masyarakat yang bilingual tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapun
Suatu masyarakat yang pada mulanya bilingual dan diglosis, tetapi kemudian berubah menjadi masyarakat yang bilingual tetapi tidak diglosis dapat terjadi apabila sifat diglosisnya “bocor”. Dalam kasus ini sebuah variasi atau bahasa “merembes” kedalam fungsi yang sudah dibentuk untuk variasi atau bahasa lain. Hasil perembesan ini mungkin akan menyebabkan terbentuknya sebuah variasi baru (kalau T dan R mempunyai struktur yang sama) atau penggantian salah satunya oleh yang lain ( kalau T dan R tidak sama strukturnya).
Misalnya :
·         Kapan kamu bayar utang?
·         Bagaimana bisa kamu dapat duit?
3.      Diglosia tanpa bilingualisme
Didalam masyarakat yang berciri diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil, merupakan kelompok ruling group yang hanya bicara dalam bahasa T. sedangkan kelompok kedua, yang lebih besar, tidak memilih kekuasaan masyarakat hannya berbicara bahasa R. Sesungguhnya masyarakat yang diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak dapat disebut sebagai suatu masyarakat tutur, sebab kedua kelompok tersebut tidak berinteraksi: kecuali secara minim dengan menggunakan interpreter atau menggunakan bahasa pijin.
Misalnya :
·         Wes go ojo nanges. (bahasa jawa yang disisipi diglosa go,ciri khas kota pati)
·         Jangan begitu to. (bahasa Indonesia + diglosa to)
4.      Tidak bilingualisme dan tidak diglosia.
Pola keempat dalam pembicaraan hubungan diglosia dan bilingualisme adalah masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme, didalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme tentunya hannya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan. Keadaan ini hannya mungkin ada dalam masyarakat primitif atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sangat sukar ditemukan.  
Misalnya :
·         Joko sedang membaca novel di kamar.
·         Aku ora seneng maca novel.

2.6      Alih Kode dan Campur Kode
2.6.1        Alih Kode
Appel (1976:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Secara sosial perubahan pemakaian bahasa itu memang harus dilakukan, sebab adalah sangat tidak pantas dan tidak etis secara sosial, untuk terus menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang ketiga. Oleh karena itu, alih kode ini dapat dikatakan mempunyai fungsi sosial.
Berbeda dengan Appel, hymes (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi di atas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia. Kalau kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus kita kembalikan kepada pokok persoalan sosiolingustik seperti yang di kemukakan fishman (1975:15), yaitu ”siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan haddirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topic pembicaraan.
Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu. Misalnya, bapak Ari setelah beberapa saat berbicara dengan bapak Budi mengenai usul kenaikan pangkatnya baru tahu kalau bapak Budi itu berasal dari daerah yang sama dengan dia dan juga memunyai bahas ibu yang sama, maka dengan maksud agar urusannya cepat beres dia melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa daerahnya.
Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tutur itu. Misalnya, Ani, pramuniaga sebuah toko cinderamata, kedatangan tamu seorang turis asing, yang mengajak bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Ketika kemudian si turis tampaknya kehabisan kata-kata untuk terus berbicara dalam bahasa Indonesia, maka Ani cepat-cepat beralih kode untuk bercakap-cakap dalam bahasa Inggris sehingga kemudian percakapan menjadi lancar kembali.
Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode.  Contohnya ketika Ujang, Nanang, Togar dan teman-temannya berbicara dalam ragam santai di dalam kelas, tiba-tiba ibu dosen datang dan memulai perkuliahan, sehingga mengharuskan mereka untuk menggunakan ragam formal.
Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern adalah alih kode yang terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repetoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.
2.6.2        Campur kode
Hill dan hill (1980:122) dalam penelitian mereka mengenai masyarakat bilingual bahasa Spanyol dan Nahuali di kelompok Indian Meksiko, mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk dapat membedakan alih kode dan campur kode.
Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya. Namun, yang jelas kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang di gunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah di bicarakan di atas. Sedangkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang di gunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa di katakan telah melakukan campur kode. Akibatnya akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda). Sebagai contoh perhatikan percakapan berikut yang di lakukan oleh para penutur dwibahasa dawan Indonesia-cina Putunghoa di Jakarta, di angkat dari laporan Hariyono (1990).
Lokasi :      Di bagian iklan kantor surat kabar harian Indonesia
Bahasa :       Indonesia dan Cina Putunghoa
Waktu  :      Senin, 18 November 1988, pukul 11.00 WIB
Penutur :      Informan III (inf) dan pemasang iklan (PI)
Topik :       memilih halaman untuk memasang iklan

Inf III :      nih mau pasang di halaman berapa? (Anda, mau pasang di halaman berapa?)
PI :            di baban aja deh (di halaman belakang sajalah)
Inf III :      mei you a ! kalau mau di halaman lain; baiel di baban penuh lo? Gak ada lagi! (kalau mau di halaman lain. Hari selasa halaman delapan penuh lo. Tidak ada lagi)
PI :            na wo xian gaaosu wodejingli ba. Ta zao de di baban a (kalau demikian saya beritahukan direktur dulu. Dia maunya di halaman delapan)
Inf III :      hao ni guosu ta ba. Jintian, degoang goa hen duo. Kalau mau ni buru-buru datang lagi (baik, kamu beritahu dia iklan hari ini sangat banyak. Kalu mau kamu harus segera datang lagi)
Menurut Hariyono, kedua partisipan itu sudah akrab. Hal itu tampak dari penggunaan pronomina persona kedua tunggal ni “kamu”. Kata ganti yang sama yang menyatakan hormat adalah xiansheng. Dilihat dari segi penggunaan bahasa Cina Putunghoa yaitu, bahasa Cina dialek Beijing. Tampaknya tidak begitu menyimpang dari kaidah yang ada. Tetapi dari segi bahasa Indonesia, digunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta, bukan bahasa Indonesia ragam baku. Disini kita lihat bahwa meskipun pembicaraan tentang pemasangan iklan adalah masalah formal, tetapi nyatanya ragam bahasa yang digunakan bukan ragam formal melainkan ragam non formal. Dari contoh peristiwa tutur yang di berikan Hariyono itu, akhirnya bisa dikatakan bahwa menentukan beda peristiwa alih kode dan campur kode memang tidak mudah

2.7    Bahasa dan Usia
2.7.1 Tutur Anak – Anak
Anak mulai belajar berbicara pada usia kurang lebih 18 bulan, dan usia kurang lebih tiga setengah tahun si anak boleh dikatakan sudah meguasai “tata bahasa” bahasa ibunya, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan orang dewasa secara sempurna.
Ada pula ciri universal dalam tutur anak-anak ditinjau dari segi fonologi. Misalnya, bunyi-bunyi yang di hasilkan oleh gerak membuka dan menutupnya bibir yang biasa disebutnya bunyi bilabial, merupakan bunyi-bunyi yang sangat umum dihasilkan oleh anak-anak pada awal ujaannya. Orang pertama dan yang paling dekat dengan anak pada masa awal perkembangan bahasanya adalah ibunya. Dan jika di perhatikan kata pangggilan untuk ibu dalam berbagai bahasa, akan membenarkan pandangan bahwa bunyi bilabial itu dominan pada awal perkembangan bahasa anak. Misalnya: mak, mbok (Jawa), mpok (Jakarta),me atau mek(Bali), mi,mam (Belanda), ma (Cina), mom(Inggris), bu (Melayu).
Produksi awal bunyi-bunyi bilabial ini bisa kita mengerti karena bunyi-bunyi inilah yang paling mudah di hasilkan, yaitu dengan hanya menggerakkan kedua bibir. Bunyi-bunyi juga dilafalkan sesuai dengan daya kerja alat-alat ucap mereka. Dalam berbagai masyarakat bahasa indonesia bunyi /r/ adalah bunyi yang paling sulit di produksi, sehingga bunyi itu baru dikuasai anak setelah mereka berusia beberapa tahun. Banyak anak berusia 3 tahun yang masih mengucapkan /lumah/ untuk rumah. Agak kurang sulit dari bunyi /r/ ini adalah bunyi /s/, yang untuk beberapa waktu di ucapkan /c/, sehingga susu, sapi diucapkan/ cucu,/capi/.
Ketika anak dianggap sudah pantas belajar “unggah-ungguh” (sopan santun) berbahasa, belajar bahasa “halus”. Banyak di kalangan keluarga awam yang mempunyai idola agar anaknya bisa berbahasa halus tingkat tinggi, yang disebut krama inggil.
Apabila memerlukan penahapan, maka anak-anak “dibiarkan“ atau “diajari” menggunakan krama inggil itu untuk kata-kata tertentu. Kata-kata ini biasanya yang menyangkut ”aktivitas sehari-hari” atau di sekitar dirinya, termasuk anggota badan, sepertidahar’makan’, ngunjuk’minum’, sare’tidur’, tindak’pergi’, nyuwun’minta’, dalem’saya’(juga untuk menjawab jika di panggil), pinarak ‘mampir’, rikma, rambut’, rawuh’datang’,mundut’mengambil;membeli’. Contoh: “Bu, pareng nyuwun duwit?” ( Bu, boleh saya minta uang?). (kata-kata yang di cetak tebal adalah kata-kata dari tingkat ngoko).
Sebaliknya, si ibu dalam berbicara dengan anaknya sering juga menggunakan kata-kata itu untuk anaknya meskipun menurut aturan dia boleh menggunakan kata-kata ngoko. Contoh: “Nek siram sirahe di gebyur lho!’kalau mandi, kepalanya disiram”. (kata-kata yang dicetak tebal tergolong krama inggil).
2.8      Pilihan Bahasa
2.8.1 Jenis Pilihan Bahasa
Ada tiga jenis pilihan bahasa yang biasa di kenal dalam kajian sosiolinguistik. pertama, apa yang disebut alih kode (code switching). Lebih dulu harus diingat, kode adalah istilah netral yang dapat mengacu kepada bahasa, dialek, sosiolek, atau ragam bahasa. Jika misalnya si A mempunyai B1 Bahasa Bali dan B2 Bahasa Indonesia serta menguasai juga bahasa Inggris, dia dapat beralih kode dengan tiga bahasa itu. Bahasa mana yang dipilih bergantung pada banyak faktor, anatara lain lawan bicara, topik, suasana. Kedua, apa yang disebut campur kode (code – mixing). Dalam campur kode penutur meyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Contoh Pada kasus si A di atas, ketika berbicara dalam bahasa indonesia dia dengan sengaja memasukkan unsur-unsur bahasa Bali atau bahasa Inggris. Ketiga, variasi dalam bahasa yang sama (variation within the same language). Jenis pilihan bahasa ini sering mejadi fokus kajian tentang sikap bahasa. Dalam hal ini, seorang penutur harus memilih ragam mana yang harus di pakai dalam situasi tertentu. Kedalam jenis ini dapat pula dimasukkan pilihan bentuk”sor-singgih” dalam bahasa Bali atau “ngoko krama” dalam bahasa Jawa, karena variasi unda-usuk dalam kedua bahasa itu ada dalam “bahasa yang sama”. Maka, jika kita menganggap “variasi dalam bahasa yang sama” itu sebagai masalah pilihan bahasa, pilihan bahasa itu mencakup penutur ekabahasawan dan dwibahasawan, bisa alih kode atau campur kode. Dari ketiga jenis pilihan bahasa itu yang paling besar konsekuensinya adalah jenis pertama, karena jenis itulah yang dapat menimbulkan pergeseran dan kepunahan bahasa.
2.9 Sikap Bahasa dan Pemilihan Bahasa
2.9.1 Sikap Bahasa
Menurut Anderson (1974:37) sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun perlu diperhatikan karena sikap itu bisa positif dan bisa negatif , maka sikap terhadap bahasa pun demikian. Umpamanya, sampai akhir tahun lima puluhan masih banyak golongan intelektual di indonesia yang masih bersikap negatif terhadap bahasa indonesia di samping mereka yang sangat bersikap positif (lihat Chaer 1993). Keadaan sekarang memang sudah jauh berbeda, yang bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia sudah jauh berkurang jumlahnya, berkat penjelasan, penerangan, dan kampanye yang dilakukan banyak pihak mengenai kemampuan bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa nasional, bahasa negara, bahasa ilmu pengetahuan, malah bahasa perhubungan antar bangsa, setidaknya di kawasan Asia Tenggara.
2.9.2 Pemilihan Bahasa
Menurut fasolt (1984) hal pertama yang terbayang bila kita memikirkan bahasa adalah “bahasa keseluruhan” (whole language) di mana kita membayangkan seseorang dalam masyarakat bilingual atau multilingual berbicara dua bahasa atau lebih dan harus memilih yang mana yang harus digunakan.
Di indonesia, secara umum digunakan tiga buah bahasa dengan tiga domain sasaran, yaitu bahasa indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bahasa indonesia digunakan  dalam domain keindonesiaan, atau domain yang sifatnya nasional, seperti dalam bahasa pengantar dalam pendidikan,. Bahasa daerah digunakan dalam domain kedaerahan, seperti dalam upacara pernikahan, sedangkan bahasa asing digunakan untuk komunikasi antar bangsa. Disinilah barangkali untuk memahami cara pemilihan bahasa perlu digunakan pendekatan yang bukan semata-mata tertumpu pada domain sosiologis, melainkan harus dilakukan berdasarkan pendekatan psikologis sosial. Pendekatan psikologis sosial tidak meneliti struktur sosial, seperti domain-domain, melainkan meneliti proses psikologi manusia seperti motivasi dalam pemilihan suatu bahasa atau ragam dari suatu bahasa untuk digunakan  pada keadaan tertentu












BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, yang dikaji secara eksternal, yaitu pengkajian yang dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan. Manfaat atau kegunaan sosiolonguistik bagi kehidupan praktis adalah dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi, Buku-buku tata bahasa, sebagai hasil kajian internal terhadap bahasa, biasanya hanya menyajikan kaidah-kaidah bahasa tanpa mengaitkannya dengan kaidah-kaidah penggunaan bahasa. Serta di dalam sosiolinguistik juga di bahas mengenai berbagai ragam bahasa dari anak-anak, waria, gay, menurut kelas sosialnya, dan lain-lain.
B.       Saran
Penulis mengharapkan setelah membaca makalah ini pembaca dapat mengerti apa itu sosiolinguistik sehingga dapat berkomunikasi dengan masyarakat yang mempunyai variasi bahasa yang beragam dengan mudah, serta penulis juga mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.






DAFTAR PUSTAKA    
                                                

0 komentar:

Proudly Powered by Blogger.